BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Bila seorang pustakawan ingin memperoleh kemajuan dalam bidang tugasnya, pustakawan harus bertindak selaku agen modernisasi dalam bidangnya. Pustakawan harus menjadikan perpustakaannya sebagai sarana belajar bagi pembacanya. Dengan kata lain, mengembangkan perpustakaan sebagai lembaga pendidikan nonformal bagi masyarakat sekitarnya. Dengan tindakan demikian maka seorang pustakawan pada hakekatnya juga seorang pendidik. Fungsi perpustakaan sebagai pendidik nampak menonjol pada perpustakaan sekolah, perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan umum.
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan hingga pada jenjang pendidikan tinggi. Pengajaran sebagai aktivitas operasional kependidikan dilaksanakan oleh para tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar.
Untuk melaksanakan profesinya, tenaga pendidik khususnya pustakawan sangat memerlukan aneka ragam pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam arti sesuai dengan tuntutan zaman dan kemajuan sains dan teknologi.
Bangsa yang terdidik hanya akan tumbuh dari bangsa yang berhasil mendidik anak-anak bangsanya sendiri, dan karena itu kemajuan bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam mendidik.
Menurut Usman M., dalam Alit Ana, bahwa tugas pendidik dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan (Alit Ana, 1994:11). Dalam Bidang profesi meliputi membimbing, mengajar dan melatih dalam proses belajar; dalam bidang kemanusiaan mengembangkan fungsi pustakawan di perpustakaan sebagai orang tua kedua; dan dalam bidang kemasyarakatan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa menuju pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berdasarkan Pancasila. Semakin akurat para pustakawan melaksanakan fungsinya, semakin menjamin terciptanya dan terbinanya kesiapan dan keandalan manusia sebagai elemen pembangunan.
Dibalik peranannya yang besar tersebut , didalamnya terkandung masalah-masalah pendidikan yang tak pernah kunjung terselesaikan dengan tuntas. Satu masalah pendidikan terselesaikan, muncul masalah lain yang kadang-kadang lebih pelik dari masalah yang telah dipecahkan.
Banyak permasalahan pendidikan ditinjau dari fungsi perpustakaan dibalik keberhasilan pembangunan pendidikan yang telah diperoleh. Permasalahan-permasalahan di pendidikan tinggi antara lain, adalah:
a). Belum semua koleksi perpustakaan berorientasi pada program pendidikan dan kebutuhan pembangunan;
b). Keterbatasan ekonomi orang tua siswa untuk membiayai pendidikan anaknya. Disamping itu terdapat mahasiswa yang tidak mau memanfaatkan perpustakaan;
c). Keterbatasan dana untuk program perpustakaan;
d) Keterbatasan sarana/ prasarana perpustakaan dan penyebaran informasi yang belum merata antar unit kerja (fakultas) dan antar daerah;
e). Isi kurikulum nasional muatan lokal masih kurang dan belum mampu secara optimal memenuhi kebutuhan peserta didik dan pembangunan, serta masih terdapat kesenjangan antara kurikulum yang tertulis dengan implementasinya di lapangan akibat berbagai kendala sumber daya;
f). Terdapat kesenjangan dalam jumlah, kualitas dan kuantitas tenaga pustakawan ditinjau dari jenis kelamin dan jabatan fungsional pustakawan.
Ditemukan berbagai kendala pada pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Menurut Achmadi dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1993, mengemukakan bahwa:
“(a)Masih tingginya angka putus sekolah, rata-rata 4% mulai kelas I sampai dengan kelas IV; (b).Masih tingginya angka mengulang kelas, yaitu 9% setiap tahun, terutama di kelas-kelas awal.; (c).Rendahnya kualitas pendidikan akibat pendidikan yang bersifat massal.”
Kenyataan lain dalam pemenuhan kebutuhan tenaga pengajar yang juga tampak dilapangan dimana penyebaran guru yang tidak merata. Ada sekolah yang sangat kekurangan guru contohnya didaerah terpencil dan ada yang berlebihan, biasanya di daerah perkotaan. Pada pendidikan tinggi latar belakang pendidikan dosen paling banyak hanyalah berpendidikan S1.
Penanganan masalah keterlantaran pendidikan pada tahun 1970-an untuk tingkat sekolah dasar, sekarang telah teratasi dengan pembangunan sekolah Inpres, sistem pamong, sekolah kecil dan sistem kejar. Permintaan akan kesempatan pendidikan yang lebih luas menyebabkan keterbatasan tempat sehingga mengakibatkan sekolah-sekolah tertentu yang tergolong populer menetapkan batas penerimaan yang tinggi. Saringan dilakukan atas dasar nilai ujia akhir dan atau ujian tes masuk. Hasil ujian tersebut tidak jarang digunakan untuk menafsirkan kualitas pendidikan. Perkembangan selanjutnya ditentukan untuk penerimaan murid baru ditetapkan bahwa Nilai Ebtanas Murni yang harus dipakai.
Walaupun banyak faktor penghambat yang harus dihadapi, Sekolah Dasar tetap menjadi jenjang pendidikan yang sangat menentukan untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan tidak kalah penting adalah peran pustakawan dalam pembentukan manusia Indonesia yang berkualitas sejak usia dini.
Penanganan masalah pendidikan oleh pemerintah tidak lepas dari peran pustakawan dalam membimbing dan mendidik dan menggali dan menyediakan sumber informasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Diantara pengetahuan-pengetahuan yang perlu dikuasai pustakawan dan juga calon pustakawan adalah pengetahuan psikologi terapan. Arthur S.Reber, seorang guru besar psikologi pada Brooklyn College, University of New York City dalam pandangannya antara lain:
“ psikologi pendidikan adalah sebuah sub disiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal : Penerapan prinsip-prinsip belajar; Pengembangan dan pembaruan kurikulum; Sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah kognitif”. (Syah, 1995:12)
Pendidikan di perpustakaan selain merupakan prosedur juga merupakan lingkungan yang menjadi tempat terlibatnya individu yang saling berinteraksi, baik antara pustakawan dengan pengguna maupun antara pengguna dengan pengguna lainnya. Peristiwa dan proses psikologis ini sangat perlu untuk dipahami dan dijadikan landasan oleh para pustakawan dalam memperlakukan para pengguna perpustakaan secara tepat.
Berlandaskan gambaran latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengulas dan membahas lebih lanjut melalui pendekatan psikologi pendidikan dalam karya tulis ini dengan judul: “KOMPETENSI PROFESIONALISME PUSTAKAWAN DALAM PENDIDIKAN”
B. Tujuan & Manfaat Penulisan
Berdasarkan fakta-fakta empiris yang penulis peroleh dari berbagai pustaka sumber informasi, maka pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahas mengenai kompetensi profesionalisme pustakawan dalam pendidikan. Adapun pembatasan masalah yaitu kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor pustakawan terhadap pengembangan keterampilan kognitif, afektif, dan psikomotor pengguna perpustakaan.
Dengan tersusunnya karya tulis ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan ilmu pengetahuan bagi profesi pustakawan khususnya mengenai teori-teori psikologi pendidikan yang dianggap masih ada relevansinya dengan profesi pustakawan yang juga merupakan pendidik atau guru.
BAB II
Beberapa Tinjauan Teoritis Mengenai
Guru, Murid dan Pustakawan
A. Tentang Guru
Sejarah Dan Pengertian Guru
Pengertian guru menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999:330)
Pada jaman dahulu, di Indonesia, seorang yang ingin belajar harus mengunjungi seorang pertapa. Pertapa mungkin raja yang telah meninggalkan takhta kerajaan karena sudah tua, dan ingin memperdalam masalah kerohanian. Pertapa itulah yang disebut guru bagi murid-murid yang menuntut ilmu di sana. Biasanya murid turut mengerjakan sawah ladang pertapa untuk keperluan hidup sehari-hari.
Setelah agama Islam masuk ke Indonesia, orang belajar ke pesantren supaya dapat membaca al-Quran dan melakukan salat dengan benar. Ulama yang mengajar di pesantren dinamakan guru. Para siswa biasanya tinggal di rumah guru itu dan membantu gurunya bercocok tanam.
Para pedagang Portugis dan Belanda yang datang ke Indonesia umumnya beragama Kristen, maka selain berdagang mereka juga menyebarkan agama itu. Untuk penyebaran itu, mereka mendirikan sekolah, tempat anak-anak mempelajari agama Kristen, membaca dan menulis huruf Latin. Mereka itulah yang disebut sebagai guru.
Kemudian untuk kepentingan penjajahannya, Belanda memerlukan pegawai yang pandai menulis dan membaca. Karena itu mereka mendirikan sekolah dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang tidak berkaitan dengan agama. Inilah awal mula sistem pendidikan di Indonesia. Di Indonesia sekarang, istilah guru diberikan kepada orang yang mengajar dan mendidik di tingkat SD, SMTP dan SMTA, sedangkan guru yang bertugas di perguruan tinggi di sebut dosen.(Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990, vol 6: 277)
Pengertian guru menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999:330)
Fungsi Seorang Guru
Suatu proses belajar dapat berlangsung tanpa guru dalam arti fisik. Hal seperti itu dapat di tanggapi dari sebuah ungkapan yang berbunyi: pengalaman adalah guru yang baik. Ungkapan ini berarti bahwa pengalaman yang diperoleh sendiri tanpa bantuan guru dapat menjadi sumber belajar. Akan tetapi dalam proses belajar mengajar, guru itu mutlak diperlukan. Guru merupakan salah satu faktor yang memungkinkan proses itu berlangsung, yaitu faktor manusia yang berinteraksi dengan manusia yang lain yang terlibat.
Perkembangan teknologi modern telah memungkinkan penggunaan berbagai alat bantu pengajaran seperti buku, televisi, radio, dan alat elektronik lain yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan. Dengan alat itu murid dapat belajar sendiri tanpa kehadiran guru. Akan tetapi telah banyak diskusi yang diadakan untuk menjawab pertanyaan apakah alat-alat itu sudah dapat sepenuhnya menggantikan guru. Semua diskusi itu sampai pada kesimpulan yang sama yaitu: guru tidak dapat diganti dalam proses belajar mengajar.
Fungsi utama seorang guru ialah mengajar dan sekaligus mendidik. Untuk melakukan tugas itulah seorang guru dididik, dibina, mungkin selama bertahun-tahun. Dengan tugas yang pokok ini maka cita-cita yang fundamental sifatnya dijadikan tanggung jawab guru, yaitu mendidik, karena pengajaran merupakan alat bagi pendidikan. Berdasarkan fungsi dasar itu pula guru melakukan sejumlah kegiatan yang semuanya tertuju pada usaha untuk membuat hasil pelaksanaan fungsi itu menjadi lebih baik. Guru akan membimbing murid, atau melakukan pekerjaan memimpin sekolah atau tugas administrasi sekolah, atau mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat, terutama dengan orang tua murid. Ia akan berpartisipasi dalam organisasi profesi guru, dan mungkin banyak lagi jenis pekerjaan lain yang menyangkut kedudukan guru. Semuanya dilakukan dalam rangka pelaksanaan fungsinya mengajar. Jadi bukanlah kebalikannya. Guru mendidik dan mengajar bukan karena akan membantu pelaksanaan tugas administrasi sekolah supaya menjadi lebih baik, atau supaya hubungan antara sekolah dengan masyarakat menjadi lebih erat, atau supaya ia dapat giat dalam organisasi profesi PGRI. Seorang guru dididik bertahun-tahun di lapangan profesinya ialah untuk melakukan tugas atau fungsinya yang pokok itu, yaitu mendidik dan mengajar. Taraf kemampuan mengajar itulah yang menunjukkan mutu profesional pekerjaannya. Mengajar adalah suatu profesi, dan guru dipersiapkan untuk mengembangkan profesi itu.
Sejalan dengan fungsi utama seorang guru sebagaimana di utarakan diatas, Darwis A. Soelaiman, menambahkan, bahwa:
”disamping fungsi guru yang utama yaitu mengajar, seorang guru mempunyai pula sejumlah fungsi yang lain yaitu:membimbing, mengerjakan tugas-tugas administrasi, melakukan tugas-tugas dalam hubungan dengan masyarakat, dan melakuka kegiatan-kegiatan profesional”. (Soelaiman, 1979: 113)
Sarana Tempat Belajar
Sarana belajar merupakan lingkungan pendidikan, di mana segala sesuatunya telah diatur dan direncanakan. Untuk mencapai tujuan pendidikan dan mutu seperti yang diharapkan oleh penyelenggara pendidikan, maka fasilitas fisik seperti gedung atau ruangan diperbaiki, fasilitas alat pengajaran termasuk buku-buku dilengkapi. Faktor sekolah/ tempat bvelajar dipandang sebagai salah satu penentu keberhasilan siswa yang tidak boleh diabaikan. Menurut hasil penelitian W.B. Elley dalam Sudarsono, secara umum dapat dibuktikan bahwa sekolah yang memiliki fasilitas belajar baik, akan menghasilkan murid yang berprestasi lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah dengan fasilitas belajar yang kurang. Suatu hasil yang mengejutkan pernah dilaporkan oleh BP3K, dimana sekolah yang memiliki buku-buku paket lengkap tidak mencapai hasil seperti yang diharapkan, malahan lebih rendah prestasinya dibandingkan dengan sekolah yang tidak memiliki buku yang lengkap. (Sudarsono, 1985:26)
Sekolah dan letaknya, alat-alat belajar merupakan faktor eksternal lingkungan non sosial yang dapat mempengaruhi para murid dalam proses belajar. Faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Soelaiman mengemukakan bahwa:
“melalui pendidikan disekolah, anak akan:lebih mengenal nilai-nilai yang diperlukannya untuk mencapai yang diinginkannya secara pribadi; mampu merumuskan tujuan tindakannya, yaitu sesuatu yang ingin diwujudkan dalam hidupnya; mampu melihat jurang pemisah antara yang diinginkannya dengan kenyataan yang dihadapi dalam hidupnya; mampu merumuskan cara-cara bertindak yang tepat dalam usaha mencapai tujuan atau keinginannya; mampu mengeksplorasi sumber-sumber yang dapat membantunya berbuat; mampu memilih di antara berbagai kemungkinan dan sumber-sumber yang tersedia, serta mampu mempertimbangkan yang bermanfaat baginya; dapat melihat corak masalah serta kesukaran yang mungkin dijumpai dalam usaha melaksanakan rencananya; mampu melihat berbagai alternatif, baik yang berupa nilai, maupun yang bersifat tujuan, serta cara mewujudkan tindakan“.(Soelaiman, 1979:11)
Dengan demikian tujuan yang dapat dicapai melalui pendidikan, yaitu:
1. mengembangkan kemampuan berpikir teratur (logik) pada anak-anak. Dengan mempelajari berbagai hal, hendaknya anak bukan saja banyak mengetahui, melainkan berkembang juga akal pikirannya dengan baik;
2. mengembangkan pemahamannya terhadap dirinya dalam hubungan dengan kedudukannya di tengah-tengah dunianya;
3. mengembangkan sikap dan menanamkan nilai-nilai yang akan menjadi pengarah dan pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku;
4. memperkaya pengalaman dan meningkatkan keterampilan untuk melaksanakan sesuatu yang dapat dijadikannya model dalam kariernya kelak.
B. Peserta Didik
Tidak akan pernah ada masalah pendidikan apabila tidak ada anak didik, tidak ada murid. Murid di sekolah bukan saja merupakan eksponen yang menentukan alasan perlunya pendidikan, tetapi sekaligus juga menjadi sasaran dan tujuan kemana pendidikan itu diarahkan.
Sasaran oleh karena murid itulah yang dijadikan objek pendidikan dan tujuan karena ia pula yang menjadi tujuan tindakan mendidik, yakni menimbulkan perubahan dan perkembangan murid menjadi manusia yang dicita-citakan.
Membicarakan guru tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan tentang murid. Seperti halnya dengan pembicaraan menganai proses belajar dan mengajar yang tidak dapat dipisahkan atau dengan kata lain membicarakan guru dalam rangka ulasan tentang pendidikan tidak lengkap tanpa membicarakan murid. Guru dan murid merupakan dua pihak dalam suatu kegiatan bersama. Guru dan murid merupakan faktor manusia yang paling pokok dalam pendidikan.
Perkembangan Dan Kebutuhan Peserta Didik
Setiap manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan dari sejak ia lahir sampai saat ia meninggal. Dunia pendidikan dan guru selayaknya semakin insyaf bahwa untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak diperlukan pengetahuan dan pemahaman tentang seluk beluk hidup anak-anak itu.
Anak tumbuh dan berkembang. Istilah tersebut keduanya mengandung pengertian yang hampir sama sehingga kedua istilah itu sering disamakan atau dipertukarkan penggunaannya. Kedua istilah itu mengandung arti perubahan yang terjadi pada diri anak.
Pertumbuhan terutama menunjuk pada perubahan segi fisik anak yang pada umumnya dapat dilihat atau tampak secara langsung melalui indera. Misalnya bertambah besar, bertambah tinggi, bertambah gigi, bertambah cantik, bertambah ganteng, dan sebagainya. Sedangkan perkembangan lebih menunjukkan perubahan dalam segi psikis atau mental, seperti misalnya perkembangan kecakapan, perasaan ,sikap, kemampuan menyesuaikan diri dan sebagainya. Perkembangan itu tak mudah diamati secara sepintas tetapi dapat dinilai.
Aspek fisik dan mental merupakan suatu kebulatan. Manusia itu bukan saja hanya berbadan, bukan pula pikiran atau perasaan saja, melainkan merupakan kebulatan jasmani dan rohani yang ada dan melekat pada setiap individu. Apabila perkembangan kepribadian itu tidak serasi jalannya maka orang itu akan mengalami ketidak seimbangan pula.
Keserasian dalam perkembangan kepribadian itu turut ditentukan oleh pengaruh internal ataupun eksternal sejak ia masih kecil. Karena itu menjadi tugas utama dari orang tua dan lembaga pendidikan yaitu guru, untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik atau murid dengan serasi, sehingga ia menjadi manusia yang seutuhnya.
Pendidikan di Indonesia bertujuan membina keserasian perkembangan anak didik, baik jasmani maupun rohani baik aspek pengetahuan maupun aspek sikap dan keterampilan mereka. Untuk dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan seluruh bagi kepribadian murid, maka guru-guru perlu mmahami murid-murid. Menurut Darwis A. Soelaiman, di antara banyak hal yang perlu diketahui tentang murid adalah mengenai perkembangan mereka, kematangan mereka untuk belajar, keperluan, serta perbedaan-perbedaan di antara murid-murid itu. (Soelaiman, 1979:160)
Dalam usaha mempelajari dan memahami anak, para ahli psikologi perkembangan membagi-bagi perkembangan anak atas beberapa fase atau tingkat perkembangan.
Aristoteles mengadakan pembagian sebagai berikut:
1. 0- 7 tahun: masa kanak-kanak
2. 7- 14 tahun: masa anak sekolah
3. 14-21 tahun: masa pubertet
Arnold Gesell, mengadakan pembagian, bukan hanya fase perkembangan yang penting baginya, melainkan juga pusaran perkembangan yang terdapat pada tiap fase. Selama 16 tahun pertama dalam hidup manusia itu terdapat tiga pusaran seperti dipaparkan dalam tabel berikut: (Gabriel, 1965:147)
Umur Dan Pusaran
Fase
Pusaran 1
Sebelum sekolah
Pusaran 2
Sekolah dasar
Pusaran 3
Pra pubertas, pubertas, dan permulaan adolesen
A₁
1½ - 2
5 - 5½
10 – 11
B
2 – 3
5½ - 6
11 – 12
A₂
3 - 3½
6 – 7
12 – 13
C
3½ - 4
7 – 8
13 – 14
D
4 - 4½
8 – 9
14 – 15
A₃
4½ - 5
9 – 10
15 – 16
Tingkat perkembangan itu oleh Gesell dijelaskan sebagai berikut:
A₁ Anak-anak cenderung bersikap ramah dan stabil
B Pada tingkat ini anak agak menyulitkan dan kata-kata yang disenanginya ialah “tidak”, “milik saya”.
A₂ Di sini anak-anak kembali lagi bersikap agak ramah, dan kata-kata yang disenanginya ialah “ya” dan “kita”.
C Pada tingkat ini anak agak suka memendam perasaan bersikap introvert, suka memusatkan pikiran pada dirinya sendiri, emosional dan suka cemas.
D Di sini anak-anak mnjadi bersikap extrovert, suka membuat gaduh dan terbuka hati.
A₃ Di sini sikap melihat ke dalam © dengan sikap melihat ke luar (D) telah bersatu, dan mereka lebih stabil dan lebih mampu mencukupi keperluan diri sendiri.
Sekalipun pembagian yang dilakukan para ahli itu bermacam-macam karena bertolak dari berbagai sudut pandangan, namun dasar dan tujuannya adalah sama. Pembagian fase-fase perkembangan itu akan mempermudah pemahaman terhadap anak didik.
Kebutuhan Para Peserta Didik
Setiap orang tentu mempunyai keperluan atau kebutuhan yang berbeda pada saat yang sama, meskipun ada yang sama tetapi hal itu jarang terjadi dalam waktu yang bersamaan. Namun demikian pada dasarnya orang memiliki berbagai kebutuhan untuk keperluan kehidupannya yang intinya sama.
Berikut ini adalah kebutuhan individu yang diungkapkan oleh Katz, Gurevitch dan Haas dalam Yusuf, sebagai berikut:
1. Kebutuhan kognitif, adalah berkaitan erat dengan kebutuhan untuk memperkuat atau menambah informasi, pengetahuan, dan pemahaman seseorang akan lingkungannya
2. Kebutuhan afektif, adalah berkaitan dengan penguatan estetis dan pengalaman-pengalaman emosional
3. Kebutuhan integrasi personal, adalah berkaitan dengan penguatan kredibilitas, kepercayaan, stabilitas, dan status individu atau kebutuhan mencari harga diri
4. Kebutuhan integrasi sosial, ini berkaitan dengan penguatan hubungan dengan keluarga atau orang lain
5. Kebutuhan berkhayal (escapist needs), ini berkaitan dengan hasrat mencari hiburan atau pengalihan (diversion). (Yusuf, 1995:3)
Kebutuhan sebagaimana disebutkan diatas dapat terjadi pada setiap orang dengan pengalaman-pengalaman masing-masing yang berbeda, demikian juga terhadap para peserta didik.
Perbedaan Individual Dan Implikasinya
Setiap anak berbeda satu dengan yang lainnya walaupun ada persamaan yang bersifat umum, seperti disebutkan sebelumnya. Guru akan berhadapan dengan murid-muridnya yang berbeda-beda umur, jenis kelamin, latar belakang suku, agama, keluarga, tingkat sosial ekonomi, intelegensi, minat dan bakat, kesiapan belajar dan juga hal yang berkaitan dengan kesulitan belajar baik bersifat fisik (cacat tidak cacat) atau emosional.
Adanya kesamaan maupun perbedaan itu sangat penting dipahami oleh guru, karena perbedaan individual itu mempunyai implikasi terhadap pengajarannya. Beberapa implikasi perbedaan individual murid terhadap pekerjaan guru, menurut Darwis A. Soelaiman adalah:
1. Perlunya guru mengenal jenis dan kualitas perbedaan yang terdapat pada murid-murid.
2. Mengetahui cara untuk mengenal perbedaan tersebut misalnya dengan test yang distandardisasi, sosiometri, observasi, dan lain-lain.
3. Membuat catatan yang sistematik dan kumulatif mengenai diri pribadi murid; penyusunan catatan itu harus cermat dan konsisten.
4. Menilai kesiapan belajar murid seluruhnya dan membandingkannya dengan kemampuan mereka sebagai individual.
5. Menyesuaikan metode mengajar dengan perbedaan individual: disamping pengajaran klasikal, diberikan bimbingan murid perorangan. Menyesuaikan pengajaran dengan perbedaan individual itu baik yang mengenai penggunaan metode mengajar, maupun sehubungan dengan pemilihan bahan pelajaran. (Soelaiman, 1979:170)
Dapat disusun daftar yang panjang mengenai implikasi perbedaan individual murid terhadap pekerjaan guru. Pentingnya pemahaman mengenai perbedaan murid itu telah banyak diteliti dan banyak pula saran berdasarkan penelitian itu tentang betapa baiknya guru bertindak sehubungan dengan perbedaan murid tersebut.
C. Tentang Pustakawan
Peran Dalam Pendidikan/ Pengajaran
Dalam melayani pemakai, pustakawan sebenarnya memainkan peranan sebagai pendidik. Pustakawan dalam hal ini mengajar pemakai bagaimana menggunakan perpustakaan dan apa manfaatnya bagi pemakai (misalnya: katalog, bibliografi, buku referens, dan sebagainya), bahkan informasi-informasi penting lainnya baik berkaitan dengan institusi maupun di luar institusi. Bila dilakukan dengan baik maka pustakawan telah melaksanakan fungsi pendidikan.
Tugas pustakawan, bila dilakukan secara profesional, mencakup pendidikan pada segala tingkat, pustakawan melaksanakan hal tersebut dapat dengan bekerja bersama-sama pemakai dan berbagai pihak.
Di perpustakaan perguruan tinggi, kaitan pustakawan dengan dunia pendidikan lebih nyata. Banyak pustakawan perguruan tinggi merangkap sebagai tenaga pengajar, khususnya menyangkut perpusdokinfo dan disiplin ilmu tertentu.
Pustakawan perpustakaan umum memiliki peran pendidikan lainnya, misalnya memberikan ceramah sebagai bagian kegiatan kultural dari perpustakaan, membangkitkan minat baca anak-anak melalui penyediaan koleksi dan bimbingan membaca, dan lain-sebagainya.
Jabatan fungsional pustakawan telah berjalan lebih dari 15 tahun. Pelaksanaan jabatan fungsional tersebut pada awalnya diatur dengan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (KEP. MENPAN) Nomor 18/1988 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Keputusan tersebut kemudian disempurnakan dengan Keputusan MENPAN Nomor 33/1998, dan terakhir dengan Keputusan MENPAN Nomor 132/ KEP/M.PN/12/2002.
Beberapa Pengertian
1. Jabatan fungsional pustakawan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwewenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi (pusdokinfo) di instansi pemerintah dan atau unit tertentu lainnya. Pejabat fungsional pustakawan terdiri dari Pustakawan Tingkat Terampil dan Pustakawan Tingkat Ahli.
2. Pustakawan Tingkat Terampil adalah pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Diploma II perpustakaan, dokumentasi dan informasi atau Diploma bidang lain yang disetarakan.
3. Pustakawan Tingkat Ahli adalah pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Sarjana perpustakaan, dokumentasi dan informasi atau Sarjana bidang lain yang disetarakan.
4. Kepustakawanan adalah ilmu dan profesi di bidang perpustakaan dokumentasi dan informasi.
5. Bidang kegiatan pustakawan meliputi:
A. Unsur Utama: Pendidikan; Pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka/ sumber informasi; Pemasyarakatan perpustakaan, dokumentasi dan informasi; Pengkajian pengembangan perpustakaan, dokumentasi dan informasi; Pengembangan profesi.
B. Unsur Penunjang: Mengajar; melatih; membimbing mahasiswa dalam penyusunan skripsi, thesis dan disertasi yang berkaitan dengan ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi; memberikan konsultasi teknis sarana dan prasarana perpustakaan, dokumentasi dan informasi; mengikuti seminar, lokakarya dan pertemuan sejenisnya di bidang kepustakawanan; melakukan lomba kepustakawanan; mendapat penghargaan/ tanda jasa; memperoleh gelar kesarjanaan lainnya; menyunting risalah pertemuan ilmiah; keikutsertaan dalam tim penilai jabatan pustakawan.
BAB III
Variabel Dan Indikator Kompetensi Profesionalisme Pustakawan Terhadap Pengembangan Fungsi Kognitif Pengguna Perpustakaan
Kompetensi profesionalisme pustakawan akan mempengaruhi atau dapat mempengaruhi kemampuan kognitif pengguna perpustakaan dalam belajar dan menggunakan perpustakaan. Untuk memudahkan siapapun yang berkeinginan untuk meneliti atau dengan maksud mempelajari guna pengembangan ilmu dan kemajuan suatu perpustakaan berikut ini penulis menguraikan variabel dan indikator yang dapat digunakan yaitu: dalam menelaah permasalahan hingga memperoleh suatu pembahasan yang deskriptif maka variabel dan indikatornya adalah sebagai berikut: variabel kompetensi profesionalisme pustakawan terdiri dari kompetensi kognitif; kompetensi afektif; dan kompetensi psikomotor. Sedangkan variabel yang dapat digali dari pengembangan fungsi kognitif pengguna perpustakaan yaitu: keterampilan kognitif; keterampilan afektif; dan keterampilan psikomotor.
Kompetensi kognitif pustakawan indikatornya adalah pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, kemampuan mentransfer pengetahuan. Kompetensi afektif pustakawan adalah self concept dan self esteem, self efficacy dan contextual efficacy, serta attitude of self acceptance dan others acceptance. Kompetensi psikomotor pustakawan adalah kecakapan fisik umum, kecakapan fisik khusus seperti ekspresi verbal dan ekspresi non verbal.
Adapun indikator dari pada keterampilan kognitif pengguna perpustakaan adalah pemahaman mengenai perpustakaan dan keyakinan akan apa yang diberikan pustakawan. Indikator dari keterampilan afektif pengguna perpustakaan yaitu kesadaran untuk belajar, sedangkan indikator dari pada keterampilan psikomotor pengguna perpustakaan adalah prestasi seperti rajin, giat dan terampil.
BAB IV
Kompetensi Profesionalisme Pustakawan Dalam Pendidikan Terhadap Pengembangan Fungsi Kognitif
Pengguna Perpustakaan
Sektor pendidikan memiliki peranan yang sangat strategis dalam keseluruhan gerak pembangunan nasional, terutama dalam pengembangan sumber daya manusia sebagai faktor penentu dalam pembangunan dan merupakan aset yang paling berharga dalam ikhtiar-ikhtiar pembangunan yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan.
Perpustakaan harus terdapat pada berbagai jenjang pendidikan dan tidak tinggal diam, dengan demikian harus pula berfungsi mendidik serta mempunyai peranan sangat penting dalam upaya menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas. Hal ini dapat dipahami misalnya: pada jenjang pendidikan dasar, maka pada jenjang ini kemampuan dan keterampilan dasar dibentuk dan dikembangkan baik sebagai bekal untuk mengikuti pendidikan lanjutan maupun untuk terjun dalam masyarakat dan berperan serta dalam proses pembangunan.
Pendidikan berasal dari kata “didik’, lalu kata ini mendapat awalan me sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991:232). Selanjutnya pengertian “pendidikan” menurut kamus Besar Bahasa Indonesia ialah “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.
Dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata “educate” (mendidik) artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan mengembangkan (toevolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan. Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut Richard Tardif dalam Syah, bahwa dalam pengertian yang luas dan representatif, pendidikan ialah the total process off developing human abilities and behaviors, drawing on almost all life’s expriences. Artinya seluruh tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan. (Syah, 1995:10)
Dalam Dictionary of Psychology, pendidikan diartikan sebagai, “ the institutional procedures which are employed in accomplihing the development of knowledge, habits, attitudes, etc. Usually the term is applied to formal institution”. Jadi pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan sebagainya.
Pendidikan dapat berlangsung secara informal dan nonfomal di samping secara formal seperti di sekolah, madrasah dan institusi-institusi lainnya. Bahkan menurut definisi diatas, pendidikan dapat berlangsung dengan cara mengajar diri sendiri (self-instruction).
Dari uraian di atas dan dalam kenyataan sehari-hari, dapat dipastikan bahwa disiplin psikologi pendidikan pada dasarnya mencurahkan perhatian pada perbuatan, tindak-tanduk orang yang belajar dan mengajar. Oleh karenanya psikologi pendidikan mempunyai dua objek riset dan kajian:
1. Siswa/ mahasiswa, yaitu orang-orang yang sedang belajar, termasuk pendekatan, strategi, faktor yang mempengaruhi dan prestasi yang dicapai
2. Guru/ dosen, yaitu orang-orang yang berkewajiban atau bertugas mengajar/ mendidik, termasuk metode, model, strategi, dan lain-lain yang berhubungan dengan aktivitas penyajian pengajaran.
Menurut Sulistyo-Basuki, diitinjau dari segi jasa perpustakaan maka terdapat perbedaan mencolok antara perpustakaan perguruan tinggi dengan perpustakaan sekolah. Menurut beliau, kalau pada perpustakaan sekolah, pustakawan merupakan jembatan antara guru dengan murid maka pada perpustakaan perguruan tinggi terdapat bentuk yang berlainan karena mahasiswa sudah dianggap mandiri dalam hal bacaan, penelusuran informasi, maupun kegiatan membaca lainnya. (Sulistyo-Basuki, 1993:51)
Bagi penulis pendapat tersebut belum juga tepat karena dalam beberapa penelitian membuktikan bahwa masih terdapat mahasiswa yang tidak pernah memanfaatkan perpustakaan perguruan tingginya sekalipun perpustakaan tersebut sudah dilengkapi dengan fasilitas yang mantap.
Perpustakaan sebagai sarana penunjang pendidikan, selain mempunyai prosedur, juga merupakan lingkungan yang menjadi tempat terlibatnya individu yang saling berinteraksi. Dalam interaksi antar individu ini baik antara pustakawan dan pengunjung maupun antara pengunjung dengan pengunjung lainnya, terjadi proses dan peristiwa psikologis. Proses dan peristiwa psikologis ini sangat perlu untuk dipahami dan dijadikan landasan oleh para pustakawan dalam memperlakukan pengunjung secara tepat.
Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 10 Tahun 2004, tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pustakawan, menyebutkan dalam kegiatan penunjang pustakawan berkaitan dengan hal pendidikan yang angka kredit dapat diambil adalah mengajar, melatih, membimbing, memberikan konsultasi teknis sarana dan prasarana perpusdokinfo.
Secara singkat, mengajar adalah kegiatan menyampaikan materi pelajaran, melatih keterampilan dan menanamkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut. Agar kegiatan mengajar ini diterima oleh para pengguna perpustakaan, pustakawan perlu berusaha membangkitkan gairah dan minat belajar mereka. Bangkitnya gairah dan minat orang belajar mengenai perpusdokinfo akan mempermudah pustakawan dalam menghubungkan kegiatan mengajar, melatih, membimbing, memberikan konsultasi teknis sarana dan prasarana perpusdokinfo dengan kegiatan belajar para pengguna perpustakaan.
Oleh karena itu, sebagai pustakawan yang sedang bertugas, sangat diharapkan mengerti benar seluk-beluk mengajar baik dalam arti individual (seperti remedial teaching/ mengajar perbaikan bagi pengunjung perpustakaan bermasalah) maupun dalam arti klasikal.
Selanjutnya, kegiatan mengajar yang dilakukan seorang pustakawan itu tidak hanya berorientasi kepada kecakapan-kecakapan berdimensi ranah cipta saja tetapi kecakapan yang berdimensi ranah rasa dan ranah karsa. Hal yang menjadi faktor yang turut menentukan keberhasilan tugas seorang pustakawan dalam mendidik/ mengajar adalah keterbukaan psikologis pustakawan itu sendiri. Keterbukaan ini merupakan dasar kompetensi profesional (kemampuan dan kewenangan melaksanakan tugas) pendidikan dan pengajaran berkaitan dengan perpusdokinfo yang harus dimiliki oleh setiap pustakawan.
Di samping berarti kemampuan, kompetensi juga berarti:…the state of being legally competent or qualified (McLeod, 1989), yakni keadaan berwewenang atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Adapun kompetensi guru (teacher competency) menurut Daniel Lenox Barlow dalam Syah, ialah “the ability of a teacher to responsible perform has or her duties appropriately”. Artinya, kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak.(Syah, 1995:230)
Dari gambaran tersebut dapat dijelaskan pengertiannya bahwa kompetensi profesionalisme pustakawan adalah kemampuan dan kewenangan pustakawan dalam menjalankan profesi pustakawan. Artinya pustakawan yang piawai dalam melaksanakan profesinya dapat disebut sebagai guru yang kompeten dan profesional.
Istilah profesional aslinya adalah kata sifat dari kata profession (pekerjaan) yang berarti sangat mampu melakukan pekerjaan. Sebagai kata benda, profesional kurang lebih berarti orang yang melaksanakan sebuah profesi dengan menggunakan profesiensi sebagai mata pencaharian. Selanjutnya, kata profesionalisme yang mengiringi kata kompetensi dalam pandangan penulis dapat dipahami sebagai kualitas dan tindak-tanduk khusus yang merupakan ciri orang profesional.
Lebih lanjut dalam menjalankan kewenangan profesionalnya, pustakawan dituntut memiliki keanekaragaman kecakapan (competencies) yang bersifat psikologis, yang meliputi:
1. kompetensi kognitif (kecakapan ranah cipta);
2. kompetensi afektif (kecakapan ranah rasa);
3. kompetensi psikomotor (kecakapan ranah karsa).
Pengetahuan dan ketermpilan kognitif atau ranah cipta dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu 1).kategori pengetahuan pendidikan kepustakawanan; 2). Kategori pengetahuan bidang tugas profesi yang akan menjadi tanggung jawab dan akan dilaksanakan oleh pustakawan.
Kompetensi afektif pustakawan atau ranah rasa sebenarnya meliputi semua fenomena perasaan dan emosi seperti: cinta, benci, senang, sedih, dan sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan orang lain dalam hal ini yang berkaitan dengan profesi pustakawan. Perasaan diri itu menurut M. Bezzina dalam Syah, yaitu: self-concept dan self esteem; self efficacy dan contextual efficacy; attitude of self-acceptance dan others acceptance.(Syah,1995:233)
Self-concept atau konsep diri pustakawan ialah totalitas sikap dan persepsi seorang pustakawan terhadap dirinya sendiri. Keseluruhan sikap dan pandangan tersebut dapat dianggap kepribadian pustakawan yang bersangkutan. Sementara itu self- esteem (harga diri) pustakawan dapat diartikan sebagai tingkat pandangan dan penilaian seorang pustakawan mengenai dirinya sendiri berdasarkan prestasinya. Titik tekan self-esteem terletak pada penilaian atau taksiran pustakawan terhadap kualitas dirinya sendiri yang merupakan bagian dari self –concept.
Lebih jelasnya pustakawan yang profesional memerlukan self-concept yang tinggi. Dalam menghadapi pengunjung lebih cenderung memberi peluang luas kepada pengunjung untuk berkreasi dibanding dengan pustakawan yang berself-concept rendah. Pustakawan ini biasanya lebih banyak berkicau sehingga tidak sempat memberi peluang kepada pengunjung untuk berkreasi seperti bertanya atau menyampaikan pendapat. Akibatnya para pengunjung menjadi seperti bisu.
Self- efficacy pustakawan (efikasi pustakawan) adalah keyakinan pustakawan terhadap efektivitas kemampuannya sendiri dalam membangkitkan gairah dan kegiatan para pengunjung perpustakaannya. Kompetensi ranah rasa ini berhubungan dengan kompetensi ranah rasa lainnya yang disebut teaching efficacy atau contextual efficacy yang berarti kemampuan pustakawan dalam berurusan dengan keterbatasan faktor luar dirinya ketika ia bertugas. Artinya keyakinan pustakawan terhadap kemampuannya sebagai pendidik profesional bukan hanya dalam penyajian didepan pengunjung yang menginginkan sesuatu untuk dipelajari, tetapi juga dalam memanipulasi (mendayagunakan) keterbatasan ruang, waktu dan peralatan yang berhubungan dengan proses belajar-mengajar.
Sikap penerimaan terhadap diri sendiri (self-acceptance attitude) adalah gejala ranah rasa seorang pustakawan dalam berkecenderungan positif atau negatif terhadap dirinya sendiri. Sikap penerimaan terhadap diri sendiri ini diiringi dengan rasa puas terhadap kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri pustakawan tersebut. Sikap penerimaan terhadap kemampuan diri sendiri pada umumnya berpengaruh terhadap sikap penerimaan pada orang lain (others acceptance attitude).
Pustakawan seyogianya memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri sebab kompetensi bersikap seperti ini akan cukup berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kualitas dan kwantitas layanan kepada pengunjung yang belajar di perpustakaan.
Kompetensi psikomotor pustakawan meliputi segala keterampilan atau kecakapan yang bersifat jasmaniah yang pelaksanaannya berhubungan dengan tugasnya selaku pendidik. Kompetensi psikomotor pustakawan ini menurut Muhibbin Syah terdiri dari : kecakapan fisik umum yakni berkaitan dengan tatakrama yang berlaku; kecakapan fisik khusus yakni meliputi keterampilan-keterampilan ekspresi verbal dan keterampilan ekspresi non verbal.
Ketarampilan ekspresi verbal dapat diwujudkan melalui pernyataan lisan. Dalam mengekspresikan verbal, pustakawan sangat diharapkan terampil dalam arti fasih dan lancar bicara baik dalam menyampaikan sesuatu maupun ketika menjawab pertanyaan para pengunjung atau mengomentari sanggahan dan pendapat mereka. Akan tetapi pustakawan yang cakap dalam ekspresi verbal tidak berarti harus selalu berusaha menutupi kekurangan yang dimiliki pustakawan itu atau dengan kata lain berdiplomasi.
Pustakawan yang profesional harus memberi tahu secara jujur kepada para pengunjung perpustakaan bahwa ia lupa atau belum tahu, sambil berjanji akan mencarikan jawaban atas pertanyaan tadi pada kesempatan yang lain, dan itu harus dibuktikan. Adapun mengenai keterampilan ekspresi non verbal yang harus dikuasai pustakawan adalah dalam hal mendemonstrasikan apa-apa yang terkandung dalam materi pengajaran. Kecakapan tersebut misalnya: menulis, membuat bagan dipapan tulis, memperagakan sesuatu yang sedang dipelajari sesuai dengan penjelasan verbal yang telah disampaikan pustakawan tersebut.
Selanjutnya dapat diasumsikan bahwa kompetensi profesionalisme pustakawan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif bagi proses belajar pengguna perpustakaan. Upaya pengembangan kognitif pengguna secara terarah, baik orang tua maupun oleh guru/ dosen dan pustakawan adalah sangat penting. Kompetensi profesionalisme pustakawan dalam upaya pengembangan fungsi ranah kognitif pengguna perpustakaan akan berdampak positif bukan hanya terhadap ranah kognitif sendiri, melainkan terhadap ranah afektif dan psikomotor pengguna perpustakaan.
Menurut Muhibbin Syah, sekurang-kurangnya ada dua macam kecakapan kognitif orang yang amat perlu dikembangkan segera khususnya oleh pustakawan terhadap pengguna potensial maupun yang aktual, yakni : 1) strategi belajar memahami isi materi yang sedang dipelajari; 2). Strategi meyakini arti penting isi materi yang dipelajari.
Strategi adalah sebuah istilah populer dalam psikologi kognitif, yang berarti prosedur mental yang berbentuk tatanan tahapan yang memerlukan alokasi upaya-upaya yang bersifat kognitif dan selalu dipengaruhi oleh pilihan-pilihan kognitif atau pilihan kebiasaan-kebiasaan (cognitif preferences). Pilihan kebiasaan belajar ini secara global terdiri atas: 1). Menghafal prinsip-prinsip yang terkandung dalam materi; 2).mengaplikasikan prinsip-prinsip materi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kompetensi dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban profesi pustakawan, artinya memiliki kemampuan dan kewenangan dalam menjalankan profesi dalam upaya pengembangan fungsi kognitif pengguna perpustakaan.
2. Kompetensi profesionalisme pustakawan yang harus dimiliki dapat diperoleh dari pendidikan profesi pustakawan yang harus mereka ikuti, yaitu program diploma perpustakaan dan ada juga dari pendidikan program S1, S2, S3 perpustakaan, serta ditunjang dengan praktek lapangan.
3. Kompetensi kognitif diwujudkan melalui kemampuan mengembangkan fungsi kognitif (pengetahuan dan keterampilan) pengguna.. Artinya bahwa, pustakawan tersebut mengetahui dan memahami pengetahuan pendidikan kepustakawanan seperti ilmu perpustakaan, psikologi, administrasi perpustakaan serta pengetahuan kependidikan khusus seperti metode mengajar/ melatih bidang perpusdokinfo, metodik khusus pengajaran materi, teknik evaluasi dan praktek pustakawan, mempunyai kemampuan dalam memberikan pemahaman kepada pengguna tentang apa yang mereka ajarkan kepada pengguna perpustakaan.
4. Kompetensi profesionalisme yang dimiliki pustakawan tidak saja membawa dampak terhadap kecakapan kognitif pengguna perpustakaan, akan tetapi juga terhadap kecakapan afektif dan kecakapan psikomotor pengguna perpustakaan. Artinya, pustakawan mempunyai kemampuan kognitif (pengetahuan kependidikan dan kepustakawanan); afektif (kemampuan mendayagunakan keterbatasan ruang, waktu dan peralatan yang berhubungan dengan proses belajar-mengajar di bidang perpusdokinfo); psikomotor (kecakapan fisik umum yang direfleksikan dalam gerak seperti duduk, berdiri, berjalan dan kecakapan fisik khusus yang direfleksikan melalui ekspresi verbal dan non verbal) dalam menjalankan tugas profesi, disamping mempunyai kemampuan dalam memberikan pemahaman tentang sesuatu yang diajarkan dalam suatu kegiatan pendidikan pemakai, mampu memberikan keyakinan/ kesadaran kepada pengguna pentingnya memahami materi ajaran, dan juga mempunyai kemampuan menciptakan pengguna perpustakaan yang berprestasi.
5. Kompetensi afektif yang dimiliki pustakawan mempunyai dampak positif terhadap pengembangan fungsi afektif pengguna. Kemampuan afektif tersebut dapat diwujudkan dalam mendayagunakan keterbatasan ruang, waktu dan peralatan ketika terjadi hambatan yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas, mampu memberikan keyakinan kepada pengguna akan pentingnya perpustakaan.
6. Kompetensi psikomotor yang dimiliki pustakawan dapat membawa dampak positif terhadap pengembangan fungsi psikomotor pengguna perpustakaan. Artinya kemampuan psikomotor yang diwujudkan dalam refleksi fisik pustakawan dalam tugas sehari-hari atau dalam kegiatan pendidikan pemakai yang dapat dilakukan sesuai dengan aturan atau tata krama yang berlaku; ekspresi verbal berupa kefasihan dalam menyampaikan sesuatu, menjawab pertanyaan, megomentari sanggahan/pendapat pengguna perpustakaan serta ekspresi nonverbal berupa keterampilan menulis/membuat bagan di papan tulis, memperagakan sesuatu yang sedang dipelajari, mempunyai kemampuan menghasilkan masyarakat khususnya pengguna perpustakaan yang berprestasi baik (rajin, giat dan terampil).
B. Saran
Bertolak dari apa yang diungkapkan diatas maka penulis dapat mengemukakan beberapa saran:
1. Pentingnya faktor kompetensi yang harus dimiliki oleh pustakawan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, maka sangatlah perlu mengupayakan peningkatan SDM (pustakawan) baik melalui pendidikan formal ataupun melalui diklat.
2. Diharapkan untuk tahun-tahun mendatang pemerintah tetap memperhatikan penambahan tenaga pustakawan karena sebagian besar permasalahan yang dihadapi khususnya bagi sekolah dasar hingga perguruan tinggi masih merasakan adanya dampak dari kekurangan pustakawan tersebut. Namun untuk penambahan tenaga pustakawan yang siap ditempatkan di perpustakaan adalah pustakawan yang memang memiliki kualitas kompetensi baik yang salah satunya dapat diketahui dari hasil tes pengangkatan calon pustakawan.
DAFTAR PUSTAKA
Alit Ana, Ida bagus. 1994. Inovasi wawasan dan provesionalisme guru sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan era pembangunan jangka panjang ke dua. Orasi pengukuhan jabatan guru besar dalam ilmu pendidikan pada fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas jember. Jember: Universitas jember.
Beeby, C.E. 1981. Pendidikan di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Hall, Calvin S.1995. Teori-teori sifat dan behavioristik. Cet.ke-2. Jogyakarta: Kanisius.
Cangelosi, James S. Merancang tes untuk menilai prestasi siswa. Bandung: ITB.
Perpustakaan Nasional RI. 2003. Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 10 Tahun 2004: tentang petunjuk teknis jabatan fungsional pustakawan dan angka kreditnya. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI.
Poerbakawatja, Soegarda. Ensiklopedi pendidikan. Ed.2. Cet. Ke-3. Jakarta: Gunung Agung.
Soelaiman, Darwis. A. Pengajaran: pengantar kepada teori dan praktek. Semarang: IKIP Semarang Press.
Soedarsono, Fx. 1985. Faktor penentu keberhasilan belajar: tinjauan pengaruh keluarga, kelompok sebaya, guru dan sekolah terhadap hasil belajar. Pidato ilmiah diucapkan pada upacara Dies Natalis IKIP Yogyakarta XXI pada tanggal 12 Oktober 1985. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Suwarso. Penyuksesan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun: rumusan hasil diskusi panel nasional. Malang: Universitas Merdeka.
Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi pendidikan: suatu pendekatan baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
BIODATA PENULIS
Nama
: Melky Turang, S.Sos.
Tempat, tanggal lahir
: Manado, 11 Mei 1969
Alamat
: -Jl.Kampus Unsrat/ Bahu lingk. VI Manado- SULUT
-Perum Mutiara Sagerat Weru 1 BITUNG-SULUT
Agama
: Kristen Protestan
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil UNSRAT
Riwayat Pendidikan:
1. Tamatan SD GMIM XXVII Manado, tahun 1981
2. Tamatan SMP Katholik 2 St. Rafael Manado, tahun 1984
3. Tamatan SMA Laboratorium IKIP Manado, tahun 1987
4. Tamatan D2 Prog. Studi Ilmu Perpustakaan Jur. Ilmu Komunikasi FISIP UNSRAT Tahun 1995
5. Tamatan S1 Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung, tahun 2000
Riwayat Pekerjaan :
1. Staf Bagian Sirkulasi UPT Perpustakaan UNSRAT 1993 s/d 2000
2. Staf Bagian Pelayanan Khusus UPT perpustakaan UNSRAT s/d Desember 2001
3. Koordinator Bagian Komputer UPT Perpustakaan UNSRAT .
4. Staf Pengajar Tidak Tetap pada Jur. Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik UNSRAT
5. Komisi Penelitian Dan Pengembangan (Ikatan Pustakawan Indonesia Sulawesi Utara) 2004-
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Bila seorang pustakawan ingin memperoleh kemajuan dalam bidang tugasnya, pustakawan harus bertindak selaku agen modernisasi dalam bidangnya. Pustakawan harus menjadikan perpustakaannya sebagai sarana belajar bagi pembacanya. Dengan kata lain, mengembangkan perpustakaan sebagai lembaga pendidikan nonformal bagi masyarakat sekitarnya. Dengan tindakan demikian maka seorang pustakawan pada hakekatnya juga seorang pendidik. Fungsi perpustakaan sebagai pendidik nampak menonjol pada perpustakaan sekolah, perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan umum.
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan hingga pada jenjang pendidikan tinggi. Pengajaran sebagai aktivitas operasional kependidikan dilaksanakan oleh para tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar.
Untuk melaksanakan profesinya, tenaga pendidik khususnya pustakawan sangat memerlukan aneka ragam pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam arti sesuai dengan tuntutan zaman dan kemajuan sains dan teknologi.
Bangsa yang terdidik hanya akan tumbuh dari bangsa yang berhasil mendidik anak-anak bangsanya sendiri, dan karena itu kemajuan bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam mendidik.
Menurut Usman M., dalam Alit Ana, bahwa tugas pendidik dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan (Alit Ana, 1994:11). Dalam Bidang profesi meliputi membimbing, mengajar dan melatih dalam proses belajar; dalam bidang kemanusiaan mengembangkan fungsi pustakawan di perpustakaan sebagai orang tua kedua; dan dalam bidang kemasyarakatan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa menuju pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berdasarkan Pancasila. Semakin akurat para pustakawan melaksanakan fungsinya, semakin menjamin terciptanya dan terbinanya kesiapan dan keandalan manusia sebagai elemen pembangunan.
Dibalik peranannya yang besar tersebut , didalamnya terkandung masalah-masalah pendidikan yang tak pernah kunjung terselesaikan dengan tuntas. Satu masalah pendidikan terselesaikan, muncul masalah lain yang kadang-kadang lebih pelik dari masalah yang telah dipecahkan.
Banyak permasalahan pendidikan ditinjau dari fungsi perpustakaan dibalik keberhasilan pembangunan pendidikan yang telah diperoleh. Permasalahan-permasalahan di pendidikan tinggi antara lain, adalah:
a). Belum semua koleksi perpustakaan berorientasi pada program pendidikan dan kebutuhan pembangunan;
b). Keterbatasan ekonomi orang tua siswa untuk membiayai pendidikan anaknya. Disamping itu terdapat mahasiswa yang tidak mau memanfaatkan perpustakaan;
c). Keterbatasan dana untuk program perpustakaan;
d) Keterbatasan sarana/ prasarana perpustakaan dan penyebaran informasi yang belum merata antar unit kerja (fakultas) dan antar daerah;
e). Isi kurikulum nasional muatan lokal masih kurang dan belum mampu secara optimal memenuhi kebutuhan peserta didik dan pembangunan, serta masih terdapat kesenjangan antara kurikulum yang tertulis dengan implementasinya di lapangan akibat berbagai kendala sumber daya;
f). Terdapat kesenjangan dalam jumlah, kualitas dan kuantitas tenaga pustakawan ditinjau dari jenis kelamin dan jabatan fungsional pustakawan.
Ditemukan berbagai kendala pada pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Menurut Achmadi dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1993, mengemukakan bahwa:
“(a)Masih tingginya angka putus sekolah, rata-rata 4% mulai kelas I sampai dengan kelas IV; (b).Masih tingginya angka mengulang kelas, yaitu 9% setiap tahun, terutama di kelas-kelas awal.; (c).Rendahnya kualitas pendidikan akibat pendidikan yang bersifat massal.”
Kenyataan lain dalam pemenuhan kebutuhan tenaga pengajar yang juga tampak dilapangan dimana penyebaran guru yang tidak merata. Ada sekolah yang sangat kekurangan guru contohnya didaerah terpencil dan ada yang berlebihan, biasanya di daerah perkotaan. Pada pendidikan tinggi latar belakang pendidikan dosen paling banyak hanyalah berpendidikan S1.
Penanganan masalah keterlantaran pendidikan pada tahun 1970-an untuk tingkat sekolah dasar, sekarang telah teratasi dengan pembangunan sekolah Inpres, sistem pamong, sekolah kecil dan sistem kejar. Permintaan akan kesempatan pendidikan yang lebih luas menyebabkan keterbatasan tempat sehingga mengakibatkan sekolah-sekolah tertentu yang tergolong populer menetapkan batas penerimaan yang tinggi. Saringan dilakukan atas dasar nilai ujia akhir dan atau ujian tes masuk. Hasil ujian tersebut tidak jarang digunakan untuk menafsirkan kualitas pendidikan. Perkembangan selanjutnya ditentukan untuk penerimaan murid baru ditetapkan bahwa Nilai Ebtanas Murni yang harus dipakai.
Walaupun banyak faktor penghambat yang harus dihadapi, Sekolah Dasar tetap menjadi jenjang pendidikan yang sangat menentukan untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan tidak kalah penting adalah peran pustakawan dalam pembentukan manusia Indonesia yang berkualitas sejak usia dini.
Penanganan masalah pendidikan oleh pemerintah tidak lepas dari peran pustakawan dalam membimbing dan mendidik dan menggali dan menyediakan sumber informasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Diantara pengetahuan-pengetahuan yang perlu dikuasai pustakawan dan juga calon pustakawan adalah pengetahuan psikologi terapan. Arthur S.Reber, seorang guru besar psikologi pada Brooklyn College, University of New York City dalam pandangannya antara lain:
“ psikologi pendidikan adalah sebuah sub disiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal : Penerapan prinsip-prinsip belajar; Pengembangan dan pembaruan kurikulum; Sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah kognitif”. (Syah, 1995:12)
Pendidikan di perpustakaan selain merupakan prosedur juga merupakan lingkungan yang menjadi tempat terlibatnya individu yang saling berinteraksi, baik antara pustakawan dengan pengguna maupun antara pengguna dengan pengguna lainnya. Peristiwa dan proses psikologis ini sangat perlu untuk dipahami dan dijadikan landasan oleh para pustakawan dalam memperlakukan para pengguna perpustakaan secara tepat.
Berlandaskan gambaran latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengulas dan membahas lebih lanjut melalui pendekatan psikologi pendidikan dalam karya tulis ini dengan judul: “KOMPETENSI PROFESIONALISME PUSTAKAWAN DALAM PENDIDIKAN”
B. Tujuan & Manfaat Penulisan
Berdasarkan fakta-fakta empiris yang penulis peroleh dari berbagai pustaka sumber informasi, maka pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahas mengenai kompetensi profesionalisme pustakawan dalam pendidikan. Adapun pembatasan masalah yaitu kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor pustakawan terhadap pengembangan keterampilan kognitif, afektif, dan psikomotor pengguna perpustakaan.
Dengan tersusunnya karya tulis ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan ilmu pengetahuan bagi profesi pustakawan khususnya mengenai teori-teori psikologi pendidikan yang dianggap masih ada relevansinya dengan profesi pustakawan yang juga merupakan pendidik atau guru.
BAB II
Beberapa Tinjauan Teoritis Mengenai
Guru, Murid dan Pustakawan
A. Tentang Guru
Sejarah Dan Pengertian Guru
Pengertian guru menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999:330)
Pada jaman dahulu, di Indonesia, seorang yang ingin belajar harus mengunjungi seorang pertapa. Pertapa mungkin raja yang telah meninggalkan takhta kerajaan karena sudah tua, dan ingin memperdalam masalah kerohanian. Pertapa itulah yang disebut guru bagi murid-murid yang menuntut ilmu di sana. Biasanya murid turut mengerjakan sawah ladang pertapa untuk keperluan hidup sehari-hari.
Setelah agama Islam masuk ke Indonesia, orang belajar ke pesantren supaya dapat membaca al-Quran dan melakukan salat dengan benar. Ulama yang mengajar di pesantren dinamakan guru. Para siswa biasanya tinggal di rumah guru itu dan membantu gurunya bercocok tanam.
Para pedagang Portugis dan Belanda yang datang ke Indonesia umumnya beragama Kristen, maka selain berdagang mereka juga menyebarkan agama itu. Untuk penyebaran itu, mereka mendirikan sekolah, tempat anak-anak mempelajari agama Kristen, membaca dan menulis huruf Latin. Mereka itulah yang disebut sebagai guru.
Kemudian untuk kepentingan penjajahannya, Belanda memerlukan pegawai yang pandai menulis dan membaca. Karena itu mereka mendirikan sekolah dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang tidak berkaitan dengan agama. Inilah awal mula sistem pendidikan di Indonesia. Di Indonesia sekarang, istilah guru diberikan kepada orang yang mengajar dan mendidik di tingkat SD, SMTP dan SMTA, sedangkan guru yang bertugas di perguruan tinggi di sebut dosen.(Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990, vol 6: 277)
Pengertian guru menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999:330)
Fungsi Seorang Guru
Suatu proses belajar dapat berlangsung tanpa guru dalam arti fisik. Hal seperti itu dapat di tanggapi dari sebuah ungkapan yang berbunyi: pengalaman adalah guru yang baik. Ungkapan ini berarti bahwa pengalaman yang diperoleh sendiri tanpa bantuan guru dapat menjadi sumber belajar. Akan tetapi dalam proses belajar mengajar, guru itu mutlak diperlukan. Guru merupakan salah satu faktor yang memungkinkan proses itu berlangsung, yaitu faktor manusia yang berinteraksi dengan manusia yang lain yang terlibat.
Perkembangan teknologi modern telah memungkinkan penggunaan berbagai alat bantu pengajaran seperti buku, televisi, radio, dan alat elektronik lain yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan. Dengan alat itu murid dapat belajar sendiri tanpa kehadiran guru. Akan tetapi telah banyak diskusi yang diadakan untuk menjawab pertanyaan apakah alat-alat itu sudah dapat sepenuhnya menggantikan guru. Semua diskusi itu sampai pada kesimpulan yang sama yaitu: guru tidak dapat diganti dalam proses belajar mengajar.
Fungsi utama seorang guru ialah mengajar dan sekaligus mendidik. Untuk melakukan tugas itulah seorang guru dididik, dibina, mungkin selama bertahun-tahun. Dengan tugas yang pokok ini maka cita-cita yang fundamental sifatnya dijadikan tanggung jawab guru, yaitu mendidik, karena pengajaran merupakan alat bagi pendidikan. Berdasarkan fungsi dasar itu pula guru melakukan sejumlah kegiatan yang semuanya tertuju pada usaha untuk membuat hasil pelaksanaan fungsi itu menjadi lebih baik. Guru akan membimbing murid, atau melakukan pekerjaan memimpin sekolah atau tugas administrasi sekolah, atau mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat, terutama dengan orang tua murid. Ia akan berpartisipasi dalam organisasi profesi guru, dan mungkin banyak lagi jenis pekerjaan lain yang menyangkut kedudukan guru. Semuanya dilakukan dalam rangka pelaksanaan fungsinya mengajar. Jadi bukanlah kebalikannya. Guru mendidik dan mengajar bukan karena akan membantu pelaksanaan tugas administrasi sekolah supaya menjadi lebih baik, atau supaya hubungan antara sekolah dengan masyarakat menjadi lebih erat, atau supaya ia dapat giat dalam organisasi profesi PGRI. Seorang guru dididik bertahun-tahun di lapangan profesinya ialah untuk melakukan tugas atau fungsinya yang pokok itu, yaitu mendidik dan mengajar. Taraf kemampuan mengajar itulah yang menunjukkan mutu profesional pekerjaannya. Mengajar adalah suatu profesi, dan guru dipersiapkan untuk mengembangkan profesi itu.
Sejalan dengan fungsi utama seorang guru sebagaimana di utarakan diatas, Darwis A. Soelaiman, menambahkan, bahwa:
”disamping fungsi guru yang utama yaitu mengajar, seorang guru mempunyai pula sejumlah fungsi yang lain yaitu:membimbing, mengerjakan tugas-tugas administrasi, melakukan tugas-tugas dalam hubungan dengan masyarakat, dan melakuka kegiatan-kegiatan profesional”. (Soelaiman, 1979: 113)
Sarana Tempat Belajar
Sarana belajar merupakan lingkungan pendidikan, di mana segala sesuatunya telah diatur dan direncanakan. Untuk mencapai tujuan pendidikan dan mutu seperti yang diharapkan oleh penyelenggara pendidikan, maka fasilitas fisik seperti gedung atau ruangan diperbaiki, fasilitas alat pengajaran termasuk buku-buku dilengkapi. Faktor sekolah/ tempat bvelajar dipandang sebagai salah satu penentu keberhasilan siswa yang tidak boleh diabaikan. Menurut hasil penelitian W.B. Elley dalam Sudarsono, secara umum dapat dibuktikan bahwa sekolah yang memiliki fasilitas belajar baik, akan menghasilkan murid yang berprestasi lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah dengan fasilitas belajar yang kurang. Suatu hasil yang mengejutkan pernah dilaporkan oleh BP3K, dimana sekolah yang memiliki buku-buku paket lengkap tidak mencapai hasil seperti yang diharapkan, malahan lebih rendah prestasinya dibandingkan dengan sekolah yang tidak memiliki buku yang lengkap. (Sudarsono, 1985:26)
Sekolah dan letaknya, alat-alat belajar merupakan faktor eksternal lingkungan non sosial yang dapat mempengaruhi para murid dalam proses belajar. Faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Soelaiman mengemukakan bahwa:
“melalui pendidikan disekolah, anak akan:lebih mengenal nilai-nilai yang diperlukannya untuk mencapai yang diinginkannya secara pribadi; mampu merumuskan tujuan tindakannya, yaitu sesuatu yang ingin diwujudkan dalam hidupnya; mampu melihat jurang pemisah antara yang diinginkannya dengan kenyataan yang dihadapi dalam hidupnya; mampu merumuskan cara-cara bertindak yang tepat dalam usaha mencapai tujuan atau keinginannya; mampu mengeksplorasi sumber-sumber yang dapat membantunya berbuat; mampu memilih di antara berbagai kemungkinan dan sumber-sumber yang tersedia, serta mampu mempertimbangkan yang bermanfaat baginya; dapat melihat corak masalah serta kesukaran yang mungkin dijumpai dalam usaha melaksanakan rencananya; mampu melihat berbagai alternatif, baik yang berupa nilai, maupun yang bersifat tujuan, serta cara mewujudkan tindakan“.(Soelaiman, 1979:11)
Dengan demikian tujuan yang dapat dicapai melalui pendidikan, yaitu:
1. mengembangkan kemampuan berpikir teratur (logik) pada anak-anak. Dengan mempelajari berbagai hal, hendaknya anak bukan saja banyak mengetahui, melainkan berkembang juga akal pikirannya dengan baik;
2. mengembangkan pemahamannya terhadap dirinya dalam hubungan dengan kedudukannya di tengah-tengah dunianya;
3. mengembangkan sikap dan menanamkan nilai-nilai yang akan menjadi pengarah dan pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku;
4. memperkaya pengalaman dan meningkatkan keterampilan untuk melaksanakan sesuatu yang dapat dijadikannya model dalam kariernya kelak.
B. Peserta Didik
Tidak akan pernah ada masalah pendidikan apabila tidak ada anak didik, tidak ada murid. Murid di sekolah bukan saja merupakan eksponen yang menentukan alasan perlunya pendidikan, tetapi sekaligus juga menjadi sasaran dan tujuan kemana pendidikan itu diarahkan.
Sasaran oleh karena murid itulah yang dijadikan objek pendidikan dan tujuan karena ia pula yang menjadi tujuan tindakan mendidik, yakni menimbulkan perubahan dan perkembangan murid menjadi manusia yang dicita-citakan.
Membicarakan guru tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan tentang murid. Seperti halnya dengan pembicaraan menganai proses belajar dan mengajar yang tidak dapat dipisahkan atau dengan kata lain membicarakan guru dalam rangka ulasan tentang pendidikan tidak lengkap tanpa membicarakan murid. Guru dan murid merupakan dua pihak dalam suatu kegiatan bersama. Guru dan murid merupakan faktor manusia yang paling pokok dalam pendidikan.
Perkembangan Dan Kebutuhan Peserta Didik
Setiap manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan dari sejak ia lahir sampai saat ia meninggal. Dunia pendidikan dan guru selayaknya semakin insyaf bahwa untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak diperlukan pengetahuan dan pemahaman tentang seluk beluk hidup anak-anak itu.
Anak tumbuh dan berkembang. Istilah tersebut keduanya mengandung pengertian yang hampir sama sehingga kedua istilah itu sering disamakan atau dipertukarkan penggunaannya. Kedua istilah itu mengandung arti perubahan yang terjadi pada diri anak.
Pertumbuhan terutama menunjuk pada perubahan segi fisik anak yang pada umumnya dapat dilihat atau tampak secara langsung melalui indera. Misalnya bertambah besar, bertambah tinggi, bertambah gigi, bertambah cantik, bertambah ganteng, dan sebagainya. Sedangkan perkembangan lebih menunjukkan perubahan dalam segi psikis atau mental, seperti misalnya perkembangan kecakapan, perasaan ,sikap, kemampuan menyesuaikan diri dan sebagainya. Perkembangan itu tak mudah diamati secara sepintas tetapi dapat dinilai.
Aspek fisik dan mental merupakan suatu kebulatan. Manusia itu bukan saja hanya berbadan, bukan pula pikiran atau perasaan saja, melainkan merupakan kebulatan jasmani dan rohani yang ada dan melekat pada setiap individu. Apabila perkembangan kepribadian itu tidak serasi jalannya maka orang itu akan mengalami ketidak seimbangan pula.
Keserasian dalam perkembangan kepribadian itu turut ditentukan oleh pengaruh internal ataupun eksternal sejak ia masih kecil. Karena itu menjadi tugas utama dari orang tua dan lembaga pendidikan yaitu guru, untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik atau murid dengan serasi, sehingga ia menjadi manusia yang seutuhnya.
Pendidikan di Indonesia bertujuan membina keserasian perkembangan anak didik, baik jasmani maupun rohani baik aspek pengetahuan maupun aspek sikap dan keterampilan mereka. Untuk dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan seluruh bagi kepribadian murid, maka guru-guru perlu mmahami murid-murid. Menurut Darwis A. Soelaiman, di antara banyak hal yang perlu diketahui tentang murid adalah mengenai perkembangan mereka, kematangan mereka untuk belajar, keperluan, serta perbedaan-perbedaan di antara murid-murid itu. (Soelaiman, 1979:160)
Dalam usaha mempelajari dan memahami anak, para ahli psikologi perkembangan membagi-bagi perkembangan anak atas beberapa fase atau tingkat perkembangan.
Aristoteles mengadakan pembagian sebagai berikut:
1. 0- 7 tahun: masa kanak-kanak
2. 7- 14 tahun: masa anak sekolah
3. 14-21 tahun: masa pubertet
Arnold Gesell, mengadakan pembagian, bukan hanya fase perkembangan yang penting baginya, melainkan juga pusaran perkembangan yang terdapat pada tiap fase. Selama 16 tahun pertama dalam hidup manusia itu terdapat tiga pusaran seperti dipaparkan dalam tabel berikut: (Gabriel, 1965:147)
Umur Dan Pusaran
Fase
Pusaran 1
Sebelum sekolah
Pusaran 2
Sekolah dasar
Pusaran 3
Pra pubertas, pubertas, dan permulaan adolesen
A₁
1½ - 2
5 - 5½
10 – 11
B
2 – 3
5½ - 6
11 – 12
A₂
3 - 3½
6 – 7
12 – 13
C
3½ - 4
7 – 8
13 – 14
D
4 - 4½
8 – 9
14 – 15
A₃
4½ - 5
9 – 10
15 – 16
Tingkat perkembangan itu oleh Gesell dijelaskan sebagai berikut:
A₁ Anak-anak cenderung bersikap ramah dan stabil
B Pada tingkat ini anak agak menyulitkan dan kata-kata yang disenanginya ialah “tidak”, “milik saya”.
A₂ Di sini anak-anak kembali lagi bersikap agak ramah, dan kata-kata yang disenanginya ialah “ya” dan “kita”.
C Pada tingkat ini anak agak suka memendam perasaan bersikap introvert, suka memusatkan pikiran pada dirinya sendiri, emosional dan suka cemas.
D Di sini anak-anak mnjadi bersikap extrovert, suka membuat gaduh dan terbuka hati.
A₃ Di sini sikap melihat ke dalam © dengan sikap melihat ke luar (D) telah bersatu, dan mereka lebih stabil dan lebih mampu mencukupi keperluan diri sendiri.
Sekalipun pembagian yang dilakukan para ahli itu bermacam-macam karena bertolak dari berbagai sudut pandangan, namun dasar dan tujuannya adalah sama. Pembagian fase-fase perkembangan itu akan mempermudah pemahaman terhadap anak didik.
Kebutuhan Para Peserta Didik
Setiap orang tentu mempunyai keperluan atau kebutuhan yang berbeda pada saat yang sama, meskipun ada yang sama tetapi hal itu jarang terjadi dalam waktu yang bersamaan. Namun demikian pada dasarnya orang memiliki berbagai kebutuhan untuk keperluan kehidupannya yang intinya sama.
Berikut ini adalah kebutuhan individu yang diungkapkan oleh Katz, Gurevitch dan Haas dalam Yusuf, sebagai berikut:
1. Kebutuhan kognitif, adalah berkaitan erat dengan kebutuhan untuk memperkuat atau menambah informasi, pengetahuan, dan pemahaman seseorang akan lingkungannya
2. Kebutuhan afektif, adalah berkaitan dengan penguatan estetis dan pengalaman-pengalaman emosional
3. Kebutuhan integrasi personal, adalah berkaitan dengan penguatan kredibilitas, kepercayaan, stabilitas, dan status individu atau kebutuhan mencari harga diri
4. Kebutuhan integrasi sosial, ini berkaitan dengan penguatan hubungan dengan keluarga atau orang lain
5. Kebutuhan berkhayal (escapist needs), ini berkaitan dengan hasrat mencari hiburan atau pengalihan (diversion). (Yusuf, 1995:3)
Kebutuhan sebagaimana disebutkan diatas dapat terjadi pada setiap orang dengan pengalaman-pengalaman masing-masing yang berbeda, demikian juga terhadap para peserta didik.
Perbedaan Individual Dan Implikasinya
Setiap anak berbeda satu dengan yang lainnya walaupun ada persamaan yang bersifat umum, seperti disebutkan sebelumnya. Guru akan berhadapan dengan murid-muridnya yang berbeda-beda umur, jenis kelamin, latar belakang suku, agama, keluarga, tingkat sosial ekonomi, intelegensi, minat dan bakat, kesiapan belajar dan juga hal yang berkaitan dengan kesulitan belajar baik bersifat fisik (cacat tidak cacat) atau emosional.
Adanya kesamaan maupun perbedaan itu sangat penting dipahami oleh guru, karena perbedaan individual itu mempunyai implikasi terhadap pengajarannya. Beberapa implikasi perbedaan individual murid terhadap pekerjaan guru, menurut Darwis A. Soelaiman adalah:
1. Perlunya guru mengenal jenis dan kualitas perbedaan yang terdapat pada murid-murid.
2. Mengetahui cara untuk mengenal perbedaan tersebut misalnya dengan test yang distandardisasi, sosiometri, observasi, dan lain-lain.
3. Membuat catatan yang sistematik dan kumulatif mengenai diri pribadi murid; penyusunan catatan itu harus cermat dan konsisten.
4. Menilai kesiapan belajar murid seluruhnya dan membandingkannya dengan kemampuan mereka sebagai individual.
5. Menyesuaikan metode mengajar dengan perbedaan individual: disamping pengajaran klasikal, diberikan bimbingan murid perorangan. Menyesuaikan pengajaran dengan perbedaan individual itu baik yang mengenai penggunaan metode mengajar, maupun sehubungan dengan pemilihan bahan pelajaran. (Soelaiman, 1979:170)
Dapat disusun daftar yang panjang mengenai implikasi perbedaan individual murid terhadap pekerjaan guru. Pentingnya pemahaman mengenai perbedaan murid itu telah banyak diteliti dan banyak pula saran berdasarkan penelitian itu tentang betapa baiknya guru bertindak sehubungan dengan perbedaan murid tersebut.
C. Tentang Pustakawan
Peran Dalam Pendidikan/ Pengajaran
Dalam melayani pemakai, pustakawan sebenarnya memainkan peranan sebagai pendidik. Pustakawan dalam hal ini mengajar pemakai bagaimana menggunakan perpustakaan dan apa manfaatnya bagi pemakai (misalnya: katalog, bibliografi, buku referens, dan sebagainya), bahkan informasi-informasi penting lainnya baik berkaitan dengan institusi maupun di luar institusi. Bila dilakukan dengan baik maka pustakawan telah melaksanakan fungsi pendidikan.
Tugas pustakawan, bila dilakukan secara profesional, mencakup pendidikan pada segala tingkat, pustakawan melaksanakan hal tersebut dapat dengan bekerja bersama-sama pemakai dan berbagai pihak.
Di perpustakaan perguruan tinggi, kaitan pustakawan dengan dunia pendidikan lebih nyata. Banyak pustakawan perguruan tinggi merangkap sebagai tenaga pengajar, khususnya menyangkut perpusdokinfo dan disiplin ilmu tertentu.
Pustakawan perpustakaan umum memiliki peran pendidikan lainnya, misalnya memberikan ceramah sebagai bagian kegiatan kultural dari perpustakaan, membangkitkan minat baca anak-anak melalui penyediaan koleksi dan bimbingan membaca, dan lain-sebagainya.
Jabatan fungsional pustakawan telah berjalan lebih dari 15 tahun. Pelaksanaan jabatan fungsional tersebut pada awalnya diatur dengan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (KEP. MENPAN) Nomor 18/1988 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Keputusan tersebut kemudian disempurnakan dengan Keputusan MENPAN Nomor 33/1998, dan terakhir dengan Keputusan MENPAN Nomor 132/ KEP/M.PN/12/2002.
Beberapa Pengertian
1. Jabatan fungsional pustakawan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwewenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi (pusdokinfo) di instansi pemerintah dan atau unit tertentu lainnya. Pejabat fungsional pustakawan terdiri dari Pustakawan Tingkat Terampil dan Pustakawan Tingkat Ahli.
2. Pustakawan Tingkat Terampil adalah pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Diploma II perpustakaan, dokumentasi dan informasi atau Diploma bidang lain yang disetarakan.
3. Pustakawan Tingkat Ahli adalah pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Sarjana perpustakaan, dokumentasi dan informasi atau Sarjana bidang lain yang disetarakan.
4. Kepustakawanan adalah ilmu dan profesi di bidang perpustakaan dokumentasi dan informasi.
5. Bidang kegiatan pustakawan meliputi:
A. Unsur Utama: Pendidikan; Pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka/ sumber informasi; Pemasyarakatan perpustakaan, dokumentasi dan informasi; Pengkajian pengembangan perpustakaan, dokumentasi dan informasi; Pengembangan profesi.
B. Unsur Penunjang: Mengajar; melatih; membimbing mahasiswa dalam penyusunan skripsi, thesis dan disertasi yang berkaitan dengan ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi; memberikan konsultasi teknis sarana dan prasarana perpustakaan, dokumentasi dan informasi; mengikuti seminar, lokakarya dan pertemuan sejenisnya di bidang kepustakawanan; melakukan lomba kepustakawanan; mendapat penghargaan/ tanda jasa; memperoleh gelar kesarjanaan lainnya; menyunting risalah pertemuan ilmiah; keikutsertaan dalam tim penilai jabatan pustakawan.
BAB III
Variabel Dan Indikator Kompetensi Profesionalisme Pustakawan Terhadap Pengembangan Fungsi Kognitif Pengguna Perpustakaan
Kompetensi profesionalisme pustakawan akan mempengaruhi atau dapat mempengaruhi kemampuan kognitif pengguna perpustakaan dalam belajar dan menggunakan perpustakaan. Untuk memudahkan siapapun yang berkeinginan untuk meneliti atau dengan maksud mempelajari guna pengembangan ilmu dan kemajuan suatu perpustakaan berikut ini penulis menguraikan variabel dan indikator yang dapat digunakan yaitu: dalam menelaah permasalahan hingga memperoleh suatu pembahasan yang deskriptif maka variabel dan indikatornya adalah sebagai berikut: variabel kompetensi profesionalisme pustakawan terdiri dari kompetensi kognitif; kompetensi afektif; dan kompetensi psikomotor. Sedangkan variabel yang dapat digali dari pengembangan fungsi kognitif pengguna perpustakaan yaitu: keterampilan kognitif; keterampilan afektif; dan keterampilan psikomotor.
Kompetensi kognitif pustakawan indikatornya adalah pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, kemampuan mentransfer pengetahuan. Kompetensi afektif pustakawan adalah self concept dan self esteem, self efficacy dan contextual efficacy, serta attitude of self acceptance dan others acceptance. Kompetensi psikomotor pustakawan adalah kecakapan fisik umum, kecakapan fisik khusus seperti ekspresi verbal dan ekspresi non verbal.
Adapun indikator dari pada keterampilan kognitif pengguna perpustakaan adalah pemahaman mengenai perpustakaan dan keyakinan akan apa yang diberikan pustakawan. Indikator dari keterampilan afektif pengguna perpustakaan yaitu kesadaran untuk belajar, sedangkan indikator dari pada keterampilan psikomotor pengguna perpustakaan adalah prestasi seperti rajin, giat dan terampil.
BAB IV
Kompetensi Profesionalisme Pustakawan Dalam Pendidikan Terhadap Pengembangan Fungsi Kognitif
Pengguna Perpustakaan
Sektor pendidikan memiliki peranan yang sangat strategis dalam keseluruhan gerak pembangunan nasional, terutama dalam pengembangan sumber daya manusia sebagai faktor penentu dalam pembangunan dan merupakan aset yang paling berharga dalam ikhtiar-ikhtiar pembangunan yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan.
Perpustakaan harus terdapat pada berbagai jenjang pendidikan dan tidak tinggal diam, dengan demikian harus pula berfungsi mendidik serta mempunyai peranan sangat penting dalam upaya menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas. Hal ini dapat dipahami misalnya: pada jenjang pendidikan dasar, maka pada jenjang ini kemampuan dan keterampilan dasar dibentuk dan dikembangkan baik sebagai bekal untuk mengikuti pendidikan lanjutan maupun untuk terjun dalam masyarakat dan berperan serta dalam proses pembangunan.
Pendidikan berasal dari kata “didik’, lalu kata ini mendapat awalan me sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991:232). Selanjutnya pengertian “pendidikan” menurut kamus Besar Bahasa Indonesia ialah “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.
Dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata “educate” (mendidik) artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan mengembangkan (toevolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan. Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut Richard Tardif dalam Syah, bahwa dalam pengertian yang luas dan representatif, pendidikan ialah the total process off developing human abilities and behaviors, drawing on almost all life’s expriences. Artinya seluruh tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan. (Syah, 1995:10)
Dalam Dictionary of Psychology, pendidikan diartikan sebagai, “ the institutional procedures which are employed in accomplihing the development of knowledge, habits, attitudes, etc. Usually the term is applied to formal institution”. Jadi pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan sebagainya.
Pendidikan dapat berlangsung secara informal dan nonfomal di samping secara formal seperti di sekolah, madrasah dan institusi-institusi lainnya. Bahkan menurut definisi diatas, pendidikan dapat berlangsung dengan cara mengajar diri sendiri (self-instruction).
Dari uraian di atas dan dalam kenyataan sehari-hari, dapat dipastikan bahwa disiplin psikologi pendidikan pada dasarnya mencurahkan perhatian pada perbuatan, tindak-tanduk orang yang belajar dan mengajar. Oleh karenanya psikologi pendidikan mempunyai dua objek riset dan kajian:
1. Siswa/ mahasiswa, yaitu orang-orang yang sedang belajar, termasuk pendekatan, strategi, faktor yang mempengaruhi dan prestasi yang dicapai
2. Guru/ dosen, yaitu orang-orang yang berkewajiban atau bertugas mengajar/ mendidik, termasuk metode, model, strategi, dan lain-lain yang berhubungan dengan aktivitas penyajian pengajaran.
Menurut Sulistyo-Basuki, diitinjau dari segi jasa perpustakaan maka terdapat perbedaan mencolok antara perpustakaan perguruan tinggi dengan perpustakaan sekolah. Menurut beliau, kalau pada perpustakaan sekolah, pustakawan merupakan jembatan antara guru dengan murid maka pada perpustakaan perguruan tinggi terdapat bentuk yang berlainan karena mahasiswa sudah dianggap mandiri dalam hal bacaan, penelusuran informasi, maupun kegiatan membaca lainnya. (Sulistyo-Basuki, 1993:51)
Bagi penulis pendapat tersebut belum juga tepat karena dalam beberapa penelitian membuktikan bahwa masih terdapat mahasiswa yang tidak pernah memanfaatkan perpustakaan perguruan tingginya sekalipun perpustakaan tersebut sudah dilengkapi dengan fasilitas yang mantap.
Perpustakaan sebagai sarana penunjang pendidikan, selain mempunyai prosedur, juga merupakan lingkungan yang menjadi tempat terlibatnya individu yang saling berinteraksi. Dalam interaksi antar individu ini baik antara pustakawan dan pengunjung maupun antara pengunjung dengan pengunjung lainnya, terjadi proses dan peristiwa psikologis. Proses dan peristiwa psikologis ini sangat perlu untuk dipahami dan dijadikan landasan oleh para pustakawan dalam memperlakukan pengunjung secara tepat.
Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 10 Tahun 2004, tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pustakawan, menyebutkan dalam kegiatan penunjang pustakawan berkaitan dengan hal pendidikan yang angka kredit dapat diambil adalah mengajar, melatih, membimbing, memberikan konsultasi teknis sarana dan prasarana perpusdokinfo.
Secara singkat, mengajar adalah kegiatan menyampaikan materi pelajaran, melatih keterampilan dan menanamkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut. Agar kegiatan mengajar ini diterima oleh para pengguna perpustakaan, pustakawan perlu berusaha membangkitkan gairah dan minat belajar mereka. Bangkitnya gairah dan minat orang belajar mengenai perpusdokinfo akan mempermudah pustakawan dalam menghubungkan kegiatan mengajar, melatih, membimbing, memberikan konsultasi teknis sarana dan prasarana perpusdokinfo dengan kegiatan belajar para pengguna perpustakaan.
Oleh karena itu, sebagai pustakawan yang sedang bertugas, sangat diharapkan mengerti benar seluk-beluk mengajar baik dalam arti individual (seperti remedial teaching/ mengajar perbaikan bagi pengunjung perpustakaan bermasalah) maupun dalam arti klasikal.
Selanjutnya, kegiatan mengajar yang dilakukan seorang pustakawan itu tidak hanya berorientasi kepada kecakapan-kecakapan berdimensi ranah cipta saja tetapi kecakapan yang berdimensi ranah rasa dan ranah karsa. Hal yang menjadi faktor yang turut menentukan keberhasilan tugas seorang pustakawan dalam mendidik/ mengajar adalah keterbukaan psikologis pustakawan itu sendiri. Keterbukaan ini merupakan dasar kompetensi profesional (kemampuan dan kewenangan melaksanakan tugas) pendidikan dan pengajaran berkaitan dengan perpusdokinfo yang harus dimiliki oleh setiap pustakawan.
Di samping berarti kemampuan, kompetensi juga berarti:…the state of being legally competent or qualified (McLeod, 1989), yakni keadaan berwewenang atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Adapun kompetensi guru (teacher competency) menurut Daniel Lenox Barlow dalam Syah, ialah “the ability of a teacher to responsible perform has or her duties appropriately”. Artinya, kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak.(Syah, 1995:230)
Dari gambaran tersebut dapat dijelaskan pengertiannya bahwa kompetensi profesionalisme pustakawan adalah kemampuan dan kewenangan pustakawan dalam menjalankan profesi pustakawan. Artinya pustakawan yang piawai dalam melaksanakan profesinya dapat disebut sebagai guru yang kompeten dan profesional.
Istilah profesional aslinya adalah kata sifat dari kata profession (pekerjaan) yang berarti sangat mampu melakukan pekerjaan. Sebagai kata benda, profesional kurang lebih berarti orang yang melaksanakan sebuah profesi dengan menggunakan profesiensi sebagai mata pencaharian. Selanjutnya, kata profesionalisme yang mengiringi kata kompetensi dalam pandangan penulis dapat dipahami sebagai kualitas dan tindak-tanduk khusus yang merupakan ciri orang profesional.
Lebih lanjut dalam menjalankan kewenangan profesionalnya, pustakawan dituntut memiliki keanekaragaman kecakapan (competencies) yang bersifat psikologis, yang meliputi:
1. kompetensi kognitif (kecakapan ranah cipta);
2. kompetensi afektif (kecakapan ranah rasa);
3. kompetensi psikomotor (kecakapan ranah karsa).
Pengetahuan dan ketermpilan kognitif atau ranah cipta dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu 1).kategori pengetahuan pendidikan kepustakawanan; 2). Kategori pengetahuan bidang tugas profesi yang akan menjadi tanggung jawab dan akan dilaksanakan oleh pustakawan.
Kompetensi afektif pustakawan atau ranah rasa sebenarnya meliputi semua fenomena perasaan dan emosi seperti: cinta, benci, senang, sedih, dan sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan orang lain dalam hal ini yang berkaitan dengan profesi pustakawan. Perasaan diri itu menurut M. Bezzina dalam Syah, yaitu: self-concept dan self esteem; self efficacy dan contextual efficacy; attitude of self-acceptance dan others acceptance.(Syah,1995:233)
Self-concept atau konsep diri pustakawan ialah totalitas sikap dan persepsi seorang pustakawan terhadap dirinya sendiri. Keseluruhan sikap dan pandangan tersebut dapat dianggap kepribadian pustakawan yang bersangkutan. Sementara itu self- esteem (harga diri) pustakawan dapat diartikan sebagai tingkat pandangan dan penilaian seorang pustakawan mengenai dirinya sendiri berdasarkan prestasinya. Titik tekan self-esteem terletak pada penilaian atau taksiran pustakawan terhadap kualitas dirinya sendiri yang merupakan bagian dari self –concept.
Lebih jelasnya pustakawan yang profesional memerlukan self-concept yang tinggi. Dalam menghadapi pengunjung lebih cenderung memberi peluang luas kepada pengunjung untuk berkreasi dibanding dengan pustakawan yang berself-concept rendah. Pustakawan ini biasanya lebih banyak berkicau sehingga tidak sempat memberi peluang kepada pengunjung untuk berkreasi seperti bertanya atau menyampaikan pendapat. Akibatnya para pengunjung menjadi seperti bisu.
Self- efficacy pustakawan (efikasi pustakawan) adalah keyakinan pustakawan terhadap efektivitas kemampuannya sendiri dalam membangkitkan gairah dan kegiatan para pengunjung perpustakaannya. Kompetensi ranah rasa ini berhubungan dengan kompetensi ranah rasa lainnya yang disebut teaching efficacy atau contextual efficacy yang berarti kemampuan pustakawan dalam berurusan dengan keterbatasan faktor luar dirinya ketika ia bertugas. Artinya keyakinan pustakawan terhadap kemampuannya sebagai pendidik profesional bukan hanya dalam penyajian didepan pengunjung yang menginginkan sesuatu untuk dipelajari, tetapi juga dalam memanipulasi (mendayagunakan) keterbatasan ruang, waktu dan peralatan yang berhubungan dengan proses belajar-mengajar.
Sikap penerimaan terhadap diri sendiri (self-acceptance attitude) adalah gejala ranah rasa seorang pustakawan dalam berkecenderungan positif atau negatif terhadap dirinya sendiri. Sikap penerimaan terhadap diri sendiri ini diiringi dengan rasa puas terhadap kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri pustakawan tersebut. Sikap penerimaan terhadap kemampuan diri sendiri pada umumnya berpengaruh terhadap sikap penerimaan pada orang lain (others acceptance attitude).
Pustakawan seyogianya memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri sebab kompetensi bersikap seperti ini akan cukup berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kualitas dan kwantitas layanan kepada pengunjung yang belajar di perpustakaan.
Kompetensi psikomotor pustakawan meliputi segala keterampilan atau kecakapan yang bersifat jasmaniah yang pelaksanaannya berhubungan dengan tugasnya selaku pendidik. Kompetensi psikomotor pustakawan ini menurut Muhibbin Syah terdiri dari : kecakapan fisik umum yakni berkaitan dengan tatakrama yang berlaku; kecakapan fisik khusus yakni meliputi keterampilan-keterampilan ekspresi verbal dan keterampilan ekspresi non verbal.
Ketarampilan ekspresi verbal dapat diwujudkan melalui pernyataan lisan. Dalam mengekspresikan verbal, pustakawan sangat diharapkan terampil dalam arti fasih dan lancar bicara baik dalam menyampaikan sesuatu maupun ketika menjawab pertanyaan para pengunjung atau mengomentari sanggahan dan pendapat mereka. Akan tetapi pustakawan yang cakap dalam ekspresi verbal tidak berarti harus selalu berusaha menutupi kekurangan yang dimiliki pustakawan itu atau dengan kata lain berdiplomasi.
Pustakawan yang profesional harus memberi tahu secara jujur kepada para pengunjung perpustakaan bahwa ia lupa atau belum tahu, sambil berjanji akan mencarikan jawaban atas pertanyaan tadi pada kesempatan yang lain, dan itu harus dibuktikan. Adapun mengenai keterampilan ekspresi non verbal yang harus dikuasai pustakawan adalah dalam hal mendemonstrasikan apa-apa yang terkandung dalam materi pengajaran. Kecakapan tersebut misalnya: menulis, membuat bagan dipapan tulis, memperagakan sesuatu yang sedang dipelajari sesuai dengan penjelasan verbal yang telah disampaikan pustakawan tersebut.
Selanjutnya dapat diasumsikan bahwa kompetensi profesionalisme pustakawan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif bagi proses belajar pengguna perpustakaan. Upaya pengembangan kognitif pengguna secara terarah, baik orang tua maupun oleh guru/ dosen dan pustakawan adalah sangat penting. Kompetensi profesionalisme pustakawan dalam upaya pengembangan fungsi ranah kognitif pengguna perpustakaan akan berdampak positif bukan hanya terhadap ranah kognitif sendiri, melainkan terhadap ranah afektif dan psikomotor pengguna perpustakaan.
Menurut Muhibbin Syah, sekurang-kurangnya ada dua macam kecakapan kognitif orang yang amat perlu dikembangkan segera khususnya oleh pustakawan terhadap pengguna potensial maupun yang aktual, yakni : 1) strategi belajar memahami isi materi yang sedang dipelajari; 2). Strategi meyakini arti penting isi materi yang dipelajari.
Strategi adalah sebuah istilah populer dalam psikologi kognitif, yang berarti prosedur mental yang berbentuk tatanan tahapan yang memerlukan alokasi upaya-upaya yang bersifat kognitif dan selalu dipengaruhi oleh pilihan-pilihan kognitif atau pilihan kebiasaan-kebiasaan (cognitif preferences). Pilihan kebiasaan belajar ini secara global terdiri atas: 1). Menghafal prinsip-prinsip yang terkandung dalam materi; 2).mengaplikasikan prinsip-prinsip materi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kompetensi dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban profesi pustakawan, artinya memiliki kemampuan dan kewenangan dalam menjalankan profesi dalam upaya pengembangan fungsi kognitif pengguna perpustakaan.
2. Kompetensi profesionalisme pustakawan yang harus dimiliki dapat diperoleh dari pendidikan profesi pustakawan yang harus mereka ikuti, yaitu program diploma perpustakaan dan ada juga dari pendidikan program S1, S2, S3 perpustakaan, serta ditunjang dengan praktek lapangan.
3. Kompetensi kognitif diwujudkan melalui kemampuan mengembangkan fungsi kognitif (pengetahuan dan keterampilan) pengguna.. Artinya bahwa, pustakawan tersebut mengetahui dan memahami pengetahuan pendidikan kepustakawanan seperti ilmu perpustakaan, psikologi, administrasi perpustakaan serta pengetahuan kependidikan khusus seperti metode mengajar/ melatih bidang perpusdokinfo, metodik khusus pengajaran materi, teknik evaluasi dan praktek pustakawan, mempunyai kemampuan dalam memberikan pemahaman kepada pengguna tentang apa yang mereka ajarkan kepada pengguna perpustakaan.
4. Kompetensi profesionalisme yang dimiliki pustakawan tidak saja membawa dampak terhadap kecakapan kognitif pengguna perpustakaan, akan tetapi juga terhadap kecakapan afektif dan kecakapan psikomotor pengguna perpustakaan. Artinya, pustakawan mempunyai kemampuan kognitif (pengetahuan kependidikan dan kepustakawanan); afektif (kemampuan mendayagunakan keterbatasan ruang, waktu dan peralatan yang berhubungan dengan proses belajar-mengajar di bidang perpusdokinfo); psikomotor (kecakapan fisik umum yang direfleksikan dalam gerak seperti duduk, berdiri, berjalan dan kecakapan fisik khusus yang direfleksikan melalui ekspresi verbal dan non verbal) dalam menjalankan tugas profesi, disamping mempunyai kemampuan dalam memberikan pemahaman tentang sesuatu yang diajarkan dalam suatu kegiatan pendidikan pemakai, mampu memberikan keyakinan/ kesadaran kepada pengguna pentingnya memahami materi ajaran, dan juga mempunyai kemampuan menciptakan pengguna perpustakaan yang berprestasi.
5. Kompetensi afektif yang dimiliki pustakawan mempunyai dampak positif terhadap pengembangan fungsi afektif pengguna. Kemampuan afektif tersebut dapat diwujudkan dalam mendayagunakan keterbatasan ruang, waktu dan peralatan ketika terjadi hambatan yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas, mampu memberikan keyakinan kepada pengguna akan pentingnya perpustakaan.
6. Kompetensi psikomotor yang dimiliki pustakawan dapat membawa dampak positif terhadap pengembangan fungsi psikomotor pengguna perpustakaan. Artinya kemampuan psikomotor yang diwujudkan dalam refleksi fisik pustakawan dalam tugas sehari-hari atau dalam kegiatan pendidikan pemakai yang dapat dilakukan sesuai dengan aturan atau tata krama yang berlaku; ekspresi verbal berupa kefasihan dalam menyampaikan sesuatu, menjawab pertanyaan, megomentari sanggahan/pendapat pengguna perpustakaan serta ekspresi nonverbal berupa keterampilan menulis/membuat bagan di papan tulis, memperagakan sesuatu yang sedang dipelajari, mempunyai kemampuan menghasilkan masyarakat khususnya pengguna perpustakaan yang berprestasi baik (rajin, giat dan terampil).
B. Saran
Bertolak dari apa yang diungkapkan diatas maka penulis dapat mengemukakan beberapa saran:
1. Pentingnya faktor kompetensi yang harus dimiliki oleh pustakawan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, maka sangatlah perlu mengupayakan peningkatan SDM (pustakawan) baik melalui pendidikan formal ataupun melalui diklat.
2. Diharapkan untuk tahun-tahun mendatang pemerintah tetap memperhatikan penambahan tenaga pustakawan karena sebagian besar permasalahan yang dihadapi khususnya bagi sekolah dasar hingga perguruan tinggi masih merasakan adanya dampak dari kekurangan pustakawan tersebut. Namun untuk penambahan tenaga pustakawan yang siap ditempatkan di perpustakaan adalah pustakawan yang memang memiliki kualitas kompetensi baik yang salah satunya dapat diketahui dari hasil tes pengangkatan calon pustakawan.
DAFTAR PUSTAKA
Alit Ana, Ida bagus. 1994. Inovasi wawasan dan provesionalisme guru sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan era pembangunan jangka panjang ke dua. Orasi pengukuhan jabatan guru besar dalam ilmu pendidikan pada fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas jember. Jember: Universitas jember.
Beeby, C.E. 1981. Pendidikan di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Hall, Calvin S.1995. Teori-teori sifat dan behavioristik. Cet.ke-2. Jogyakarta: Kanisius.
Cangelosi, James S. Merancang tes untuk menilai prestasi siswa. Bandung: ITB.
Perpustakaan Nasional RI. 2003. Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 10 Tahun 2004: tentang petunjuk teknis jabatan fungsional pustakawan dan angka kreditnya. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI.
Poerbakawatja, Soegarda. Ensiklopedi pendidikan. Ed.2. Cet. Ke-3. Jakarta: Gunung Agung.
Soelaiman, Darwis. A. Pengajaran: pengantar kepada teori dan praktek. Semarang: IKIP Semarang Press.
Soedarsono, Fx. 1985. Faktor penentu keberhasilan belajar: tinjauan pengaruh keluarga, kelompok sebaya, guru dan sekolah terhadap hasil belajar. Pidato ilmiah diucapkan pada upacara Dies Natalis IKIP Yogyakarta XXI pada tanggal 12 Oktober 1985. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Suwarso. Penyuksesan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun: rumusan hasil diskusi panel nasional. Malang: Universitas Merdeka.
Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi pendidikan: suatu pendekatan baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
BIODATA PENULIS
Nama
: Melky Turang, S.Sos.
Tempat, tanggal lahir
: Manado, 11 Mei 1969
Alamat
: -Jl.Kampus Unsrat/ Bahu lingk. VI Manado- SULUT
-Perum Mutiara Sagerat Weru 1 BITUNG-SULUT
Agama
: Kristen Protestan
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil UNSRAT
Riwayat Pendidikan:
1. Tamatan SD GMIM XXVII Manado, tahun 1981
2. Tamatan SMP Katholik 2 St. Rafael Manado, tahun 1984
3. Tamatan SMA Laboratorium IKIP Manado, tahun 1987
4. Tamatan D2 Prog. Studi Ilmu Perpustakaan Jur. Ilmu Komunikasi FISIP UNSRAT Tahun 1995
5. Tamatan S1 Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung, tahun 2000
Riwayat Pekerjaan :
1. Staf Bagian Sirkulasi UPT Perpustakaan UNSRAT 1993 s/d 2000
2. Staf Bagian Pelayanan Khusus UPT perpustakaan UNSRAT s/d Desember 2001
3. Koordinator Bagian Komputer UPT Perpustakaan UNSRAT .
4. Staf Pengajar Tidak Tetap pada Jur. Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik UNSRAT
5. Komisi Penelitian Dan Pengembangan (Ikatan Pustakawan Indonesia Sulawesi Utara) 2004-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar